PADA waktu dhuha di hari
Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam) masuklah putri beliau Fathimah radhiyallahu anha ke dalam kamar
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu dia menangis saat masuk kamar
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap
kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri
dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu
berdiri untuknya.
Maka Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya: “Mendekatlah kemari wahai
Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis.
Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya: “Mendekatlah kemari wahai
Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.
Maka setelah kematian
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka bertanya kepada Fathimah : “Apa
yang telah dibisikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu
sehingga engkau menangis, dan apa pula yang beliau bisikkan hingga engkau
tertawa?”
Fathimah berkata: “Pertama kalinya beliau berkata
kepadaku: ‘Wahai Fathimah, aku akan meninggal malam ini.’ Maka akupun menangis.
Maka saat beliau mendapati tangisanku beliau kembali berkata kepadaku: ‘Engkau
wahai Fathimah, adalah keluargaku yang pertama kali akan bertemu denganku.’
Maka akupun tertawa.”
Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium keduanya dan
berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
memanggil semua istrinya, menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat
kepada seluruh manusia yang hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang
wasiat itu.
Lalu rasa sakitpun terasa
semakin berat, maka beliau bersabda: “Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.”
Beliau bersabda: “Mendekatlah kepadaku,
wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah radhiyallahu anha.
‘Aisyah berkata: “Beliau
mengangkat tangan beliau seraya bersabda: ‘Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan
Ar-Rafiqul A’la’.” Maka diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau
disuruh memilih di antara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.
Masuklah Malaikat Jibril
alaihis salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata: “Malaikat
maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta
izin kepada seorangpun sebelummu.”
Maka beliau berkata
kepadanya: “Izinkan untuknya, wahai Jibril.”
Masuklah malaikat Maut
seraya berkata: “Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk
memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan
Allah di akhirat.”
Maka Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda: “Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang
tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu :para nabi, para shiddiqiin,
orang-orang yg mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq
(teman) yang sebaik-baiknya.”
‘Aisyah menuturkan bahwa
sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, ketika beliau bersandar
pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a: “Ya
Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq al-a’la. Ya
Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la.”
Berdirilah malaikat Maut
disisi kepala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi
kepala salah seorang diantara kita- dan berkata: “Wahai roh yang bagus, roh
Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb yang
ridha dan tidak murka.”
Sayyidah ‘Aisyah berkata:
“Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau
menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah
wafat.”
Dia berkata: “Aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari
kamarku menuju masjid, yang di sana ada para sahabat, dan kukatakan,
‘Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.’ Maka
mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu
terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu
seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata: ‘Jika ada seseorang yang mengatakan
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong
kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya
sebagaimana Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.’
“Adapun orang yang paling
tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata: ‘Wahai sahabatku,
wahai kekasihku, wahai bapakku.’ Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam dan berkata : ‘Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati’.”
“Keluarlah Abu Bakar
menemui manusia dan berkata: ‘Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad
sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya
Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.’ Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari
tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”
Inna lillahi wainna
ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang paling mulia, orang
yang paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul
Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. Semoga shalawat dan salam
selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Langit Madinah kala itu
mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan
kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan
mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan
nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus
sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria
yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.
Waktu shalat telah tiba.
Bilal bin Rabah, pria
legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar…”
Suara beningnya yang
indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak
menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini
mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha
illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini
bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah
berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.
“Asy…hadu.. an..na..
M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi
terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh
tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa
roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol.
Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat
ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke
bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat
adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat
persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa
meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya mulai limbung.
Sahabat yang tanggap
menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal
yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang
tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan
ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak
seperti Bilal.
Tangis Bilal lebih deras
dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu,
tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.
Ia pun membebastugaskan
Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba
kenangannya bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia
bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia
teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya. Saat
itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal
adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya”.
Pria legam itu terenyuh
mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak
tampan, dan mantan budak.
Kenangan-kenangan akan
sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia
mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami
dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa
dibendung.
Kini tak ada lagi suara
lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia
biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap
mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya
untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria
mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh
rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat,
saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah
dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari
tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya
sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang
masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati
Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur
dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak
tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan
perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi,
beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu
Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu
membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana
karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus
bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal
al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati
secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq
merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar
dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau
membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi
jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju
kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi
Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga
karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau
begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab,
“Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan
pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak
tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan
adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali
bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Jazirah Arab kembali
berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi wasallam, khalifah
pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi
penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin
Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan
membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang
melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang
mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat
dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya
mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari
Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.
Umar membujuk Bilal untuk
kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika
khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.
“Hanya sekali”, bujuk
Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil
Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka
tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia
menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..
Hari saat Bilal akan
mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah
tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid
demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha
illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna
Muhammadarrasulullah…”
…
Sampai di sini Bilal
berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan
kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah
dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan
itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan
akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.
“Asyhadu anna
Muhammadarrasulullah…”
Kini getaran resonansinya
semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak
berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah
akan air mata.
“Hayya ‘alash-shalah,
hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada yang tak
mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.
“Hayya `alal-falah, hayya
`alal-falah…”
Seruan akan kebangkitan
dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan
membuncah.
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar…”
Allah-lah yang Maha
Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya?
Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”
Tiada tuhan selain ALLAH.
Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha
Hidup dan tak akan pernah mati. [gizanherbal]
Copy From : https://www.islampos.com/bilal-tak-kuasa-meneruskan-adzan-61512/
Copy From :
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !