Fakta Masalah
Kasus korupsi dengan kerugian negara sebesar 300 triliun rupiah yang melibatkan Harvey Moeis telah menyita perhatian publik. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memutuskan Harvey Moeis bersalah atas tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia divonis dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp1 miliar (subsider 6 bulan kurungan), dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, dengan ketentuan jika tidak dibayar dalam satu tahun, harta bendanya akan disita atau diganti dengan pidana tambahan 2 tahun penjara (tempo.co, liputan6.com).
Kasus ini berawal dari pengelolaan tata niaga timah ilegal oleh PT Refined Bangka Tin (RBT) bersama PT Timah Tbk. Harvey Moeis diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Akibat dari tindakannya, negara mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai Rp300 triliun, selain kerugian lingkungan yang tidak dapat dihitung secara finansial (kompas.com, mediaindonesia.com).
Namun, vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis menuai kontroversi. Hukuman tersebut dianggap tidak proporsional dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatannya. Banyak pihak menilai bahwa hukuman tersebut terlalu ringan, dan tidak mencerminkan keadilan. Dalam konteks Islam, vonis ini dapat dianalisis dari sudut pandang hukum, keadilan, dan prinsip-prinsip syariah terkait kejahatan korupsi.
Korupsi dalam Perspektif Islam
Korupsi dalam Islam dikenal sebagai salah satu bentuk ghulul (pengkhianatan amanah) dan fasad fil ardh (kerusakan di muka bumi). Tindakan ini tidak hanya dianggap sebagai dosa besar, tetapi juga sebagai kejahatan yang merusak tatanan sosial dan keadilan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil..."
(QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini melarang keras perbuatan memakan harta orang lain secara tidak sah, termasuk melalui penyelewengan amanah publik, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi. Nabi Muhammad SAW juga menegaskan dalam sebuah hadis:
“Barang siapa yang kami angkat untuk suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan sehelai jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (kecurangan), yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
(HR. Muslim)
Dari ayat dan hadis tersebut, korupsi bukan hanya melanggar hak individu atau masyarakat, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap amanah yang diberikan oleh Allah. Tindak korupsi seperti dalam kasus Harvey Moeis, dengan kerugian mencapai ratusan triliun, adalah kejahatan yang berdampak luas, tidak hanya merugikan negara, tetapi juga menghancurkan masa depan generasi penerus.
Prinsip Keadilan dalam Islam
Keadilan adalah salah satu pilar utama dalam hukum Islam. Allah SWT memerintahkan umat manusia untuk selalu berlaku adil, tanpa memandang status sosial, kekuasaan, atau kekayaan seseorang:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu.”
(QS. An-Nisa: 135)
Dalam kasus korupsi ini, prinsip keadilan tampaknya tidak sepenuhnya diterapkan. Hukuman 6,5 tahun penjara untuk kasus korupsi sebesar Rp300 triliun dianggap tidak setara dengan dampak yang diakibatkan. Islam menegaskan bahwa hukuman harus sesuai dengan tingkat kejahatan, sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Hadis Nabi Muhammad SAW juga menyoroti pentingnya penerapan hukum yang adil tanpa memandang status sosial pelaku:
“Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena apabila orang-orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun apabila orang-orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Vonis yang dianggap ringan dalam kasus ini berpotensi memberikan sinyal negatif kepada masyarakat bahwa kejahatan korupsi dapat “dibeli” dengan kekuasaan atau pengaruh tertentu.
Hukuman Korupsi dalam Islam
Dalam hukum Islam, hukuman untuk tindak pidana seperti korupsi termasuk dalam kategori ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh otoritas hukum berdasarkan tingkat kejahatan). Islam memberikan fleksibilitas kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan dampak kejahatan tersebut. Adapun hukuman untuk kasus korupsi besar seperti ini dapat mencakup:
Penyitaan Aset Islam mengajarkan bahwa segala harta yang diperoleh dari hasil kejahatan harus dikembalikan kepada pihak yang berhak, dalam hal ini negara. Penyitaan aset adalah salah satu bentuk hukuman yang paling tepat untuk memastikan keadilan.
Hukuman Penjara yang Lama Hukuman penjara yang lama bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku, sekaligus mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Dalam kasus Harvey Moeis, hukuman 6,5 tahun penjara dianggap terlalu ringan, mengingat besarnya dampak kejahatannya.
Hukuman Sosial Selain hukuman fisik, pelaku korupsi juga harus diberikan hukuman sosial, seperti larangan memegang jabatan publik atau aktivitas bisnis yang terkait dengan aset negara. Hal ini untuk memastikan bahwa pelaku tidak memiliki kesempatan untuk mengulangi perbuatannya.
Tujuan Hukuman dalam Islam
Hukuman dalam Islam bertujuan untuk mencapai tiga hal utama, yaitu:
Rehabilitasi (Ta’dib) Hukuman bertujuan untuk mendidik pelaku agar menyadari kesalahannya dan bertobat. Dengan hukuman yang adil, pelaku diharapkan dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi kejahatannya.
Efek Jera (Takhwif) Hukuman harus mampu memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun masyarakat luas. Dalam kasus ini, hukuman yang ringan dapat memicu persepsi bahwa kejahatan korupsi memiliki risiko yang kecil dibandingkan dengan manfaat finansial yang didapatkan.
Mencegah Kejahatan (Zajr) Hukuman juga bertujuan untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama. Dengan memberikan hukuman yang tegas, masyarakat akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan korupsi.
Kritik terhadap Vonis 6,5 Tahun Penjara
Vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey Moeis, dengan kerugian negara sebesar Rp300 triliun, menimbulkan pertanyaan besar terkait integritas sistem hukum di Indonesia. Dalam pandangan Islam, hukuman ini tidak memenuhi prinsip keadilan, tidak memberikan efek jera yang cukup, dan tidak mencerminkan tanggung jawab moral terhadap masyarakat yang dirugikan.
Kritik utama terhadap vonis ini adalah:
Tidak Proporsional dengan Kerugian Negara Hukuman 6,5 tahun penjara dianggap tidak setara dengan dampak besar yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi tersebut. Dalam Islam, hukuman harus sebanding dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
Minimnya Efek Jera Hukuman yang ringan tidak memberikan efek jera yang kuat, baik bagi pelaku maupun bagi calon pelaku lainnya. Ini bertentangan dengan tujuan hukum dalam Islam.
Ketimpangan Sosial Putusan ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum, di mana pelaku korupsi besar dapat menerima hukuman ringan, sementara pelanggaran kecil sering kali dihukum berat.
Penutup
Kasus korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp300 triliun, namun hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, adalah contoh nyata dari ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dalam Islam, korupsi adalah kejahatan besar yang merusak tatanan sosial dan melanggar amanah Allah SWT. Hukuman terhadap pelaku korupsi harus memenuhi prinsip keadilan, memberikan efek jera, dan memulihkan hak masyarakat yang dirugikan.
Sistem hukum Indonesia perlu merefleksikan nilai-nilai keadilan yang lebih kuat, termasuk mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip syariah dalam menangani kejahatan berat seperti korupsi. Dengan menerapkan hukuman yang tegas dan proporsional, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat dipulihkan, dan tindak kejahatan serupa dapat dicegah di masa depan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !